Sabtu, 23 Juli 2011

Dulu kita pernah dewasa :)

::..BERMAIN BERSAMA..::
masih ingat waktu kita masih kecil ?
klo siang-siang habis sekolah, buru-buru makan siang,
trus keluar nyamperin temen-temen main di lapangan,
main di sawah.. bareng-bareng sama temen-temen..

ga ada yg main sendirian, semua bareng-bareng..
ga ada individualistis, semua main bersama..

belajar memahami sifat masing2 teman,
dengan melihat wajahnya yg sembab ketika selalu kalah dalam permainan,
dengan melihat tingkahnya yg sombong ketika mengalahkan musuh bebuyutannya (walaupun baru satu kali) hha..
dengan melihat tingkahnya yg meremehkan teman yg baru bergabung.

betapa dewasanya kita dulu,
dibanding sekarang yg makin lama makin individualistis.
semakin terjerumus kepada permainan yg hanya bermain dengan 2 orang.
karena stiknya cuma 2.
banhkan hanya sendiri, karena mouse dan keyboardnya cuma 1.

tak ada unsur toleransi lagi dalam permainan kita yg skrg.
tak ada belajar untuk menjaga perasaan yang kalah,
dan belajar menghormati yang menang.

betapa dewasanya kita dulu, waktu kita masih kecil.

::..MEMBUAT KARYA..::
masih ingat waktu kita ingin bermain mobil-mobilan
ingin bermain tembak-tembakan,
ingin bermain rumah-rumahan,
tapi orang tua kita tak memberi uang?

kita tidak menyerah, kita cari kulit jeruk,
kita cari pelepah pisang, kita cari tanah liat,
tak punya uang bukan penghalang kita utk bisa bermain,
dengan apapun yang ada yang penting kita bisa bermain.

kita asik bermain dengan karya cipta kita sendiri.
kita tak peduli bagus tidaknya mainan kita,
karena proses pembuatannya-lah yang kita sukai,
bukan hasil akhir mainan itu.

kita marah-marah ketika mainan kita belum jadi,
dan permainan kita belum selesai
tapi orang tua sudah menyuruh pulang untuk mandi sore.
lihat, betapa seriusnya dan totalnya kita dalam mencintai permainan.

bukankah sikap2 seperti itu,
yang mandiri dengan segala keterbatasan yang ada,
yang menikmati dan mencintai proses pembuatan karya
yang totalitas dalam kecintaannya membuat karya,
adalah sikap orang yang dewasa?

betapa dewasanya kita dulu, waktu kita masih kecil.

::..POLOS..::
kalau kita ditanya,
kapan pernah jujur yang tanpa berpikir macem-macem.
waktu masih kecil kan?
"itu kan polos, bukan jujur.."
okey...

jujur mendatangkan ketentraman hati,
sedangkan bohong mendatangkan kegelisahan.
kapan kita lebih sering gelisah,
ketika kecil atau sudah tua?
"kan permasalahan hidupnya beda.."
ya jelas beda.
permasalahan orang tua, lebih banyak.
karena bohongnya lebih banyak.

karena bohong itu akar segala permasalahan.
mulai dari membohongi diri sendiri,
membohongi orang tua,
membohongi orang lain,
hingga membohongi Tuhan.

betapa hebatnya kita waktu kecil,
yg polos, yg tak tahu bagaimana cara berbohong,
hingga Tuhan juga tak tahu
bagaimana cara menaruh kita dalam kegelisahan.

betapa dewasanya kita dulu, waktu kita masih kecil.

ya, dulu kita pernah dewasa..
dulu kita mencintai kebersamaan,
dulu kita mencintai kemandirian,
dulu kita mencintai keuletan,
dulu kita mencintai totalitas,
dulu kita mencintai kejujuran.

mungkin menjadi dewasa dengan memutar waktu adalah hal yang mustahil,
tapi membangkitkan kedewasaan yang dulu pernah ada, sepertinya tak sulit.

tak semua teladan selalu lebih tua dari kita.
kalau kita bisa belajar dengan tepat,
semua orang bisa kita jadikan teladan.
bahkan anak kecil yang polos dan ingusan itu.

jadi dewasa tak harus menunggu tua,
terbukti, dulu kita sudah pernah dewasa.
dan sekarang,
mari bangkitkan diri kita yg dulu,
yang mencintai kebersamaan, mencintai kemandirian,
mencintai keuletan, mencintai totalitas, mencintai kejujuran.

be wise by being a child

Selasa, 12 Juli 2011

ketika NILAI jadi acuan dan standar pendidikan di Negeri ini.

pendidikan.htmlhehehe,,,, selamat menikmati
semangkok tulisan orang aneh.

tentang sebuah alternatif dari "nilai"

yang selama ini dianggap paling relevan
untuk menunjukkan tingkat pendidikan.


okey,,
langsung aja lah,,,
ga pake basa basi...

yang jelas, makin banyak orang pinter,
makin banyak yang menyadari kalau
nilai itu ga relevan dengan tingkat pendidikan.

lalu selama ini, yang jadi masalah itu
bukan sadarnya akan ketidakrelevanan "nilai",
tapi apa yang bisa menjadi standar selain "nilai"?

itu kan?
pertanyaan itu yang sering membuat kaum terpelajar terhenti berpikir
lalu melanjutkan pengejarannya atas "nilai".

untungnya aku bukan kaum terpelajar.
aku orang aneh,, jadinya ga ada yang namanya berenti berpikir.
apalagi harus ngejar nilai... wkwkwkw

please don't try this at home.
adegan ini dilakukan oleh orang2 aneh
dan sudah berada dalam pengamanan yang ketat. wakakakaka

hanya ilustrasi saja

okey, setelah bertapa di Goa Pakar
aku menemukan pangsit,,, eh wangsit,,

begini loh balads-balads aku yang cantik dan ganteng,,,,

kata orang bijak,,,
motivasi terbesar seseorang adalah
ketika dia tau apa manfaat yang dia lakukan.

sekarang mari kita berpikir bersama,,,,

apa motivasi kita sekolah?
biar pinter. klo udah pinter?
dapet kerja. klo dah dapet kerja?
bisa hidup sejahtera. klo dah sejahtera?
hhmmm,,,,, ngapain ya,,,,
ow ya,,, bagi2 kesejahteraan donk,,,
kan banyak orang susah,,,.
okey.
jelas klo dah bagi2 kesejahteraan akhirnya insyaallah dapet surga.
berhubung urusan surga itu urusannya Allah,

kita ambil step sebelumnya, yaitu bagi-bagi kesejahteraan.
okey?
so, kalau diruntut lagi..
motivasi kita sekolah adalah untuk bagi2 kesejahteraan.
betul?
(nada Aa Gym)

jadi, sebetulnya orang yang mau sekolah, tujuan akhirnya pasti mulia.
hanya kadang ada yang tidak menyadarinya.

jadi kalau memang tujuan sekolah
untuk berbagi kesejahteraan, manfaat,

lalu kenapa sekolah tidak menyetandarkan manfaat
sebagai standar tingkat pendidikan?

ya, MANFAAT sebagai STANDAR TINGKAT PENDIDIKAN.
yang diujikan adalah manfaat.
yang dilaporkan di rapot adalah manfaat.
yang dibanggakan adalah manfaat.


maksudnya manfaat?
aku contohkan ya,,,,
misal anak SMP, dengan ilmu biologinya,
dia bisa membuat kebun cabe di halamannya.
dengan begitu, ibunya ga perlu bayar mahal buat beli cabe.
nyata kan manfaatnya?
kepake kan ilmunya?

daripada menang olimpiade biologi,
tapi ibunya masih susah beli cabe.
kemana ilmunya?
cuma buat pamer ke luar negeri klo anak indonesia itu pinter2?
dari dulu orang luar juga dah tau anak Indonesia itu pinter.
yang orang luar belum tau, orang pinter Indonesia itu ngapai aja
koq negerinya masih moloooorrr aja,,, kya dewan yang tercela.

misal lagi,
anak SMA, dengan ilmu akuntansinya,
dia bisa membuat usaha warung ibunya tercatat dengan rapih
pemasukan dan pengeluarannya,
jadi jelas untung ruginya.
kepake kan ilmunya?
nyata kan manfaatnya?

anak kuliah desain grafis,
bisa bikin tembok2 warung makan yang kecil2 itu
jadi unik, lucu, menarik,,,,
jadi warungnya bisa rame,

kenapa selama ini jarang sekali
yang berani atau tertarik untuk mengaplikasikan ilmunya.
mungkin karena terlalu sibuk mengejar nilai.
nilai yang sebetulnya manfaatnya apa c?
apa tujuannya?

coba kalau selama ini para intelektual
bukan mengejar nilai tapi mengejar manfaat,

masa iya, kota jakarta bisa se semrawut ini?
masa iya pariwisata kita yg mendunia cuma Bali?
masa iya masih banyak orang kurang gizi?
masa iya masih banyak orang miskin?
masa iya cuma jakarta pusat perekonomian Indonesia?

kalau semua orang berpendidikan
berlomba-lomba mengejar manfaat, udah lah,,,,
setahun aja minimal kita bisa sama dengan Singapura.


dan untuk menentukan lulus tidaknya,
tentukan saja dengan manfaat yang bisa dia berikan.

Ketika banyak orang yang bisa menikmati manfaatnya, lulus.
buat aja standar masing2 minimal orang yang mendapatkan manfaatnya.

misal,
untuk anak SMP bisa memberikan satu hal
yang manfaatnya bisa dinikmati minimal 10 orang,
SMA minimal 50 orang,
perguruan tinggi minimal 200 orang.
gampang kan?

dengan begitu
anak sekolah orientasinya pemanfaatan ilmu. bukan nilai.
memicu kreatifitas dan responsibilitas kepada lingkungannya, ga cuma terkungkung di kelas literatur yang itu-itu aja.
memicu semangat belajar mencari ilmu karena mereka butuh, bukan disuruh.



gmn??? pemikiran yang aneh kan!!! wakakakaka

lalu ada masalah lagi, ketika manfaat menjadi standar,
berarti sejak awal anak masuk sekolah harus punya impian
mau bisa apa, bermanfaat dalam bidang apa?

ya, sejak awal dia harus tau mau bisa apa.

ini bisa ditentukan dengan impiannya sendiri.
dan petunjuk dari pemandu bakatnya, baik itu orang tua maupun guru.

sebetulnya masih banyak yang masih ngantri di otak ku,,
cuman 10 jari ini minta berhenti dulu, dah cape. wkwkw

jadi intinya,
MANFAAT lah yang harusnya menjadi STANDAR PENDIDIKAN.
bukan NILAI.

dan memberikan manfaat tidak perlu menunggu
kalau sudah kaya, kalau sudah pinter.

karena memberikan manfaat itu kegiatan yang perlu latihan.
dan latihan paling baik dilakukan sejak dini.

sekecil dan sesederhana apapun manfaat,
itu lebih baik ketimbang
menunggu kaya dulu, menunggu pintar dulu.

sering sekali ketika sudah kaya dan pintar,
justru sayang untuk memberikan manfaat untuk sesama.



KEJARLAH MANFAAT, BUKAN NILAI.

JANGAN TANYA NILAIMU BERAPA.
TAPI TANYAKAN BISA APA KAMU UNTUK MEREKA DENGAN NILAIMU?

SEBAIK-BAIK MANUSIA ADALAH YANG BERMANFAAT UNTUK SESAMA.

DAN ORANG BERMANFAAT, PASTI KAYA.


_semoga bisa makin bermanfaat. 

==============================================================

makasih dah mau baca tulisan aneh-anehku. dan ini hanya pendapat saja. sutuju atau tidak, itu terserah anda. kalau bermanfaat, silahkan disebarluaskan. jika tidak bermutu, lupakan saja. :)

==============================================================