Selasa, 10 Januari 2012

SEBUAH LEGITIMASI TERHADAP PERAMPOKAN UANG NEGARA

Sumber dari postingan bapak Siswo Suyanto dalam blog beliau disini

Monday, January 9, 2012

Introduksi :

Sebagai rasa turut prihatin atas 'musibah' yang menimpa Direktorat Jenderal Perbendaharaan-Kementrian Keuangan, dan khususnya kepada rekan Agus Imam Subegjo dan Erfan yang keduanya bekerja sebagai Staf di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta-2 yang dituduh melakukan tindak pidana korupsi, dan hari ini divonis 1 tahun 6 bulan penjara dan denda 100 juta subsidaire 3 bln penjara dan 1 tahun penjara dan denda 100 juta rupiah subsidaire 3 bulan penjara, saya ingin sekali memuat pembelaan Sdr Agus Imam Subegjo yang menurut pendapat saya merupakan suatu ungkapan jujur dan berdasarkan kenyataan.

Sengaja saya tidak mengajak semua pihak untuk memasuki wilayah kasus dan proses persidangannya, tetapi dengan hanya memahami apa yang ditulis dalam pembelaan tersebut saya mengharapkan berbagai pihak dapat ikut memahami apa yang kira-kira terjadi.

Salam,

SS


SEBUAH LEGITIMASI TERHADAP PERAMPOKAN UANG NEGARA

Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis Hakim, Yang terhormat Sdr. Jaksa Penuntut Umum, Yang terhormat Sdr. Panitera dan para Hadirin,

Assalamualaikum Wr Wb, Selamat Siang dan Salam Sejahtera bagi kita semua,

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat kesehatan kepada kita semua sehingga memungkinkan kita semua untuk menghadiri sidang yang terhormat pada siang hari ini.

Puji syukur kepada Allah SWT, dan terima kasih yang sebesar-besarnya, khususnya, kepada Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis yang telah memperkenankan saya untuk memberikan penjelasan kepada forum yang terhormat ini tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam kasus ini, dan apa peran saya sebagai seorang pejabat di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), Kementerian Keuangan dalam melaksanakan pencairan dana anggaran atas perintah pejabat SNVT Pengadaan Bahan/Peralatan Jalan dan Jembatan Kementerian Pekerjaan Umum melalui penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM), dengan harapan agar nantinya Yang Mulia Majelis Hakim dapat memberikan keputusan yang seadil-adilnya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menghukum yang bersalah, dan membebaskan mereka yang tidak bersalah dan terdzolimi.

Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis Hakim,

Dalam mesin birokrasi pemerintahan, pelaksanaan kegiatan dapat diibaratkan sebagai sebuah ban berjalan yang berputar mengikuti pola dan system baku yang telah dirancang dan ditetapkan sebelumnya. Pergerakan atau perjalanan mesin tersebut diatur sesuai dengan system operating procedure (SOP) yang telah ditetapkan.

Seorang pegawai negeri, dalam system ban berjalan tersebut, dapat diibaratkan sebagai roda, baik besar maupun kecil, atau bahkan sekedar sebagai mur atau baut, tergantung jabatan atau posisinya. Para pegawai tersebutlah yang memungkinkan mesin ban berjalan bergerak sesuai iramanya dalam melaksanakan tugas pemerintahan dalam melayani rakyat untuk mencapai tujuan negara.

Jadi, saya sebagai petugas di KPPN adalah sebuah roda kecil yang harus bergerak mengikuti putaran ban berjalan yang dikendalikan oleh sebuah SOP. Harus melaksanakan tugas sepanjang sesuai dengan SOP. Tanpa mampu bergerak sesuai kemauan diri sendiri.

Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis Hakim,

Di masa lalu, sebelum lahirnya Undang-undang bidang Keuangan Negara pada tahun 2003, sistem Pengelolaan Keuangan Negara, khususnya, dalam bidang pengeluaran Negara, dapat dikatakan sangat buruk. Hampir semua keputusan, mulai penyusunan anggaran hingga pelaksanaan pengeluaran di setiap Kementerian/ lembaga dikendalikan atau diputuskan oleh Menteri Keuangan. Di tangan Menteri Keuangan lah (beserta Satuan kerja bawahannya) terkonsentrasi hampir semua kekuasaan keuangan Negara.

Dalam pelaksanaan pengeluaran anggaran Negara, setiap Kementerian/ lembaga yang diwakili oleh Satuan Kerja masing-masing hanya memiliki kewenangan mengajukan permintaan pembayaran, karena hanya memiliki kewenangan sebagai otorisator. Sedangkan keputusan pembayaran yang diwujudkan dengan penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM) -kewenangan ordonnansering- dilakukan oleh Kementerian Keuangan, di. Kantor Perbendaharaan Negara.

Sebagaimana dinyatakan dalam Regelen voor het Administratief Beheer 1933 (RAB) yang menjadi acuan pengelolaan Keuangan Negara di masa lalu di samping Indische Comptabiliteits Wet (ICW) tanggungjawab pengeluaran Negara terletak pada penerbit SPM. Artinya, bahwa barangsiapa yang menandatangani SPM harus yakin terhadap adanya tagihan kepada Negara. Yaitu, harus yakin kepada siapa uang tersebut harus dibayarkan. Harus yakin, berapa besarnya. Dan harus yakin terkait dengan tahun anggaran saat dilaksanakan pembayaran.

Terkonsentrasinya kewenangan pengelolaan keuangan Negara di tangan Menteri Keuangan, yaitu kewenangan ordonnansering dan comptable (Bendahara Umum Negara) , disamping menyalahi konsep dasar manajemen yang baik, juga berakibat di satu sisi, Kementerian/ lembaga beserta satker jajarannya tidak pernah merasa bertanggungjawab terhadap pengelolaan keuangan di satker masing-masing. Di sisi lain, beratnya tanggungjawab di Kementerian Keuangan (dhi. Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) sebagai pelaksana) mengakibatkan pelaksanaan pembayaran dan pencairan dananya memakan waktu relative lama (hingga dua hari kerja). Itu pun bila semua persyaratan pembayaran terpenuhi, termasuk bukti-bukti pengeluaran yang dilampirkan. Itu semua karena Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) bertanggungjawab terhadap semua pengujian yang dipersyaratkan yang meliputi pengujian wetmatigheid, rechtmatigheid, dan juga pengujian doelmatigheid. Dalam pengujian rechtmatigheid, Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) harus meneliti semua bukti pengeluaran, termasuk kontrak-kontrak yang menjadi lampiran permohonan surat permintaan pembayaran (SPP) semua satker Kementerian/ lembaga.

Dengan kenyataan seperti itu, pelaksanaan pengeluaran Negara (dhi. penerbitan SPM sebagai wujud pembayaran kepada pihak lain) justru dipandang sebagai penghambat kegiatan semua Kementerian/ lembaga. Hal ini berakibat terhadap daya serap anggaran Negara (APBN) dari masa ke masa yang relative sangat rendah. APBN tidak dapat diharapkan memacu dan mendukung perkembangan perekonomian Nasional.

Menyadari hal ini, lahirlah pemikiran untuk melakukan reformasi pengelolaan keuangan Negara. Hal ini ditandai dengan lahirnya UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang kemudian disusul dengan UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan juga UU no. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.

Hal yang paling mendasar dalam reformasi pengelolaan keuangan Negara yang kemudian dituangkan dalam Undang-undang tersebut diatas, antara lain adalah pembagian kewenangan dalam pengelolaan keuangan Negara.

Dalam UU no. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam UU no. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, kewenangan Menteri Teknis dalam pengelolaan keuangan di masing-masing Kementeriannya lebih dominan dibandingkan Menteri Keuangan. Efektif dimulai sejak tahun 2005, Menteri Teknis sebagai Pengguna Anggaran (PA), dan semua satker jajarannya sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), memiliki kewenangan sebagai otorisator dan sekaligus sebagai ordonnator bagi anggarannya masing-masing. Sedangkan Menteri Keuangan, beserta jajarannya, sebagai Bendahara Umum Negara, hanya memiliki kewenangan comptabel.

Dalam konstelasi pembagian kewenangan tersebut di atas, Prof. Dr. Muhsan, SH, Mantan Hakim Agung Bidang Tata Usaha Negara, Professor Hukum Administrasi Negara, yang pada saat penyusunan UU Bid Keuangan Negara bertindak sebagai Pendamping Ahli Tim Penyusun, yang dalam persidangan kasus ini dihadirkan sebagai Ahli, berpendapat bahwa Menteri Teknis merupakan lastgevers (pemberi mandate/ perintah) yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan Menteri Keuangan yang merupakan lasthebbers (penerima mandate/ perintah). Oleh sebab itu, semua perintah Menteri Teknis beserta jajarannya dalam hal pengeluaran Negara yang diwujudkan dalam bentuk surat perintah membayar (SPM), sepanjang sesuai persyaratan administrative yang ditentukan, harus dilaksanakan pencairan dananya. Hal ini, harus dilakukan karena semua tanggungjawab terhadap keputusan yang dilakukan merupakan tanggungjawab Kementerian Teknis/ satker yang bersangkutan. Kalaupun pihak Kementerian keuangan (dhi.KPPN) harus melakukan pengujian hanyalah pengujian administrative dan bersifat pengulangan (rechek). Bukan bersifat pengujian materiil (substantive).

Drs. Siswo Sujanto, DEA, sebagai Ketua Tim Kecil Penyusunan Paket UU Bidang Keuangan Negara tersebut, yang dihadirkan sebagai ahli dalam kasus ini menjelaskan bahwa pembagian kewenangan tersebut di atas didasarkan pula pada prinsip let’s the manager manage. Sebagaimana dikemukakan dalam persidangan bahwa prinsip tersebut pada hakekatnya menyatakan bahwa anggaran tersebut diajukan/ diminta oleh Kementerian Teknis, diberikan oleh DPR kepada Menteri Teknis untuk membiayai kegiatan yang diusulkan, diputuskan penggunaannya dan dilaksanakan sendiri oleh Menteri Teknis yang bersangkutan, dan konsekuensinya harus dipertanggungjawabkan oleh Menteri Teknis. Singkatnya, mulai dari perencanaan hingga pertanggungjawaban, anggaran setiap Kementerian/ lembaga/ satker harus dikelola sendiri oleh masing-masing.

Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis Hakim,

Inilah salah satu makna perubahan yang dimuat dalam reformasi pengelolaan keuangan Negara. Yang memperoleh dana anggaran, yang menggunakan dana tersebut atas dasar keputusan yang dibuatnya harus bertanggungjawab terhadap semua keputusannya. Dan Menteri Keuangan, selaku Bendahara Umum Negara, hanya melakukan pengecekan apakah penggunaan dana tersebut sesuai dengan alokasi yang disediakan sebagaimana tertuang dalam UU APBN dan DIPA.

Menindaklanjuti gagasan yang tertuang dalam undang-undang tersebut, Direktorat Jenderal Perbendaharaan menyusun system pembayaran baru yang diimplementasikan pada kantor-kantor daerahnya yang kemudian dikenal dengan nama KPPN Percontohan.

Inti perubahan tersebut adalah bahwa karena KPPN tidak lagi merupakan ordonnator, KPPN tidak lagi melakukan pengujian substantive dalam arti yang sebenarnya melainkan hanya melakukan pengujian substantif yang bersifat recheck terhadap keputusan pengeluaran Negara. Tegasnya, KPPN tidak lagi melakukan pengujian rechtmatigheid yang menjadi dasar diterbitkannya SPM, dan juga tidak melakukan pengujian doelmatigheid. Secara kasar dapat dikatakan bahwa setiap SPM yang diterbitkan Kementerian/ lembaga dan satkernya wajib dicairkan dananya oleh KPPN karena keputusan pembayaran tersebut menjadi tanggungjawab Kementerian/ lembaga dan satker yang bersangkutan.

Untuk menghindarkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan (antara lain, pemalsuan SPM), setiap Kementerian/ lembaga disamping memiliki program SPM dengan password khusus, SPM tersebut memiliki unsure/ elemen sebanyak 13 elemen dasar yang hanya diketahui oleh satker yang bersangkutan yang nantinya akan dicocokkan dengan data base di KPPN. Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh Sdr. Bagus Konstituante sebagai ahli IT sekaligus saksi fakta yang dihadirkan dalam persidangan kasus ini. Oleh karena itu, setiap penerbitan SPM (hard copy) harus disertai dengan Arsip Data Komputer (ADK-soft copy).

Drs. Siswo Sujanto, DEA sebagai perancang system tersebut yang ketika itu menjabat sebagai Sekretaris Ditjen Perbendaharaan, yang dihadirkan sebagai ahli dalam kasus ini menyatakan bahwa dengan adanya konfirmasi elektronik/ computer terhadap semua elemen dasar yang merupakan kunci penerbitan SPM, maka akan melahirkan power of payment. Artinya, bahwa SPM tersebut benar-benar berasal dari Satker penerbit SPM, dan sebagai konsekuensinya, KPPN wajib mencairkan dananya dengan menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Inilah inti dari verifikasi elektronik.

Namun demikian, untuk memastikan bahwa SPM tersebut syah SPM dimaksud harus ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, yaitu Pejabat Penandatangan SPM. Inilah pengujian manual yang harus dilaksanakan oleh staf di KPPN (FO).

Dengan system pembayaran model baru tersebut, norma waktu pembayaran yang dahulu mencapai minimal 8 jam hingga 2 x 24 jam, dapat dilaksanakan hanya dalam tempo 45 menit.

Kecepatan tersebut dapat terjadi karena KPPN tidak lagi menguji dasar-dasar pembayaran (yaitu : kontrak dan bukti lainnya) yang menjadi tanggungjawab Satker. Untuk menunjukkan tanggungjawab pengeluaran Negara di satker tersebut, maka setiap SPM harus dilampiri Resume kontrak dan Surat Pernyataan Tanggungjawab Belanja (SPTB). Resume kontrak akan digunakan oleh KPPN untuk mencocokkan penerima pembayaran, besaran pembayaran, dan tahun anggaran SPM yang disampaikan. Sedangkan SPTB pada hakekatnya berisi pernyataan Satker bahwa pengeluaran telah dilaksanakan sesuai ketentuan, dan seluruh bukti ada di Satker ybs.

Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis Hakim,

Dengan mengutip norma di atas, yaitu : bahwa barangsiapa yang menandatangani SPM harus yakin terhadap adanya tagihan kepada Negara; yaitu, harus yakin kepada siapa uang tersebut harus dibayarkan; harus yakin, berapa besarnya; dan harus yakin terkait dengan tahun anggaran saat dilaksanakan pembayaran jelas bahwa tanggungjawab penerbitan SPM dan segala konsekuensinya berada di tangan satker, dan lebih khusus lagi, di tangan penandatangan SPM.

Dengan demikian, bila kemudian beban tanggungjawab penerbitan SPM dialihkan dari Satker kepada Kementerian Keuangan (dhi. KPPN) dengan menggunakan dalil-dalil yang tidak benar karena berasal dari penafsiran ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum yang tidak berkompeten, sama artinya dengan MELAKUKAN LEGITIMASI TERHADAP PERAMPOKAN UANG NEGARA YANG DILAKUKAN OLEH PIHAK-PIHAK LAIN DENGAN BEKERJASAMA DENGAN SATUAN KERJA KEMENTERIAN/ LEMBAGA.

Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis Hakim,

Kejadian ini, bila benar-benar terjadi akan memiliki akibat yang luar biasa dan di luar yang diperkirakan. Saat ini, ketika kasus ini sedang bergulir sudah terjadi beberapa kali percobaan serupa yang dilakukan di beberapa KPPN oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Dengan tuntutan yang diusulkan Jaksa Penuntut Umum yang dapat dianggap sebagai legitimasi, akan marak kasus-kasus serupa.

Bila keputusan penyelesaian kasus ini adalah dengan mempersalahkan KPPN, maka legitimasi tersebut akan mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah. Dan tentunya, Kementerian Keuangan, khususnya semua pegawai di KPPN tidak akan sanggup lagi bekerja sesuai konsep baru dengan pembagian tugas sebagaimana dituangkan dalam undang-undang. Semua pegawai KPPN, khususnya FO dan seksi-seksi tertentu akan mengundurkan diri daripada ketimpa musibah dalam bentuk menanggung dosa yang tidak pernah mereka lakukan.

Kalaupun dipaksakan, semua pegawai akan bertindak dengan cara yang luar biasa, antara lain meneliti sedetil-detilnya apa saja yang disodorkan untuk dikerjakan, walaupun data yang diteliti tidak memiliki keterkaitan dengan keputusan yang harus diambil. Semua kesalahan, sekecil apapun, seperti kesalahan ketik dalam surat lampiran, akan mengakibatkan SPM dikembalikan. Dan ini semua dilakukan hanya untuk tindakan berhati-hati agar tidak sampai masuk ke penjara.

Semua pegawai di KPPN akan bertindak ibaratnya seorang polisi lalu lintas yang menilang seorang pengemudi hanya gara-gara dalam kotak P3K-nya tidak terdapat verband yang merupakan kelengkapan. Padahal, semua surat maupun kelengkapan lainnya ternyata ada. Dan ini merupakan tindakan yang dipandang kurang rasional.

Semua itu tentu dapat dibayangkan, betapa pembayaran SPM akan menjadi berlarut-larut. Penyerapan APBN yang kini menjadi keprihatinan Pemerintah (baca: Presiden) akan menjadi sesuatu yang lebih jelek lagi. Dan, lebih jauh lagi implikasi terhadap layanan public dan perekonomian nasional menjadi luar biasa buruknya. Dan ini tentunya sangat mungkin terjadi, padahal hanya didasarkan pada keputusan pihak-pihak yang tidak benar-benar memahami logika dalam tata kelola keuangan Negara (peraturan yang ada).

Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis Hakim,

Berbagai ketentuan dalam pengelolaan keuangan Negara seharusnya ditafsirkan secara proporsional dan sesuai dengan filosofi, kaidah, maupun norma disiplin keuangan Negara.

Jaksa Penuntut Umum menghadirkan seorang Ahli Hukum Administrasi Negara, Dr. Dian Puji Simatupang, yang dinyatakan sebagai ahli hukum administrasi dan mengajar tentang hukum perbendahaaraan Negara di suatu perguruan tinggi negeri terkenal di Indonesia yang ternyata, setelah kami baca CV-nya tidak memiliki latar belakang pendidikan yang memadai di bidang Hukum Keuangan Negara . Latar belakang pendidikan hukum administrasi dan hukum perbendharaan, apalagi hukum keuangan Negara adalah sesuatu yang sangat berbeda. Oleh karena itu, pernyataan-pernyataannya selama persidangan menunjukkan bahwa yang bersangkutan sebenarnya banyak tidak memahami masalah-masalah perbendaharaan Negara, kecuali sekedar membaca pasal dan menafsirkan menurut pendapatnya sendiri. Itu sebabnya, pendapatnya tidak sesuai dengan pemikiran-pemikiran disiplin hukum keuangan Negara. Hal ini tentunya sangat membahayakan, bukan saja dari sudut system dan keilmuan, tetapi terlebih lagi terhadap nasib seseorang.

Pernah terjadi dalam kasus lain terkait dengan keputusan di bidang pengelolaan keuangan Negara yang ditafsirkan oleh Ahli yang tidak ahli yang kemudian mengakibatkan kericuhan dalam system. Ini benar-benar terjadi ketika seorang jaksa di Papua dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain. Yang bersangkutan keberatan, padahal permintaan Surat Keputusan Penghentian Pembayaran (SKPP) telah diterbitkan oleh kantor Kejaksaan yang bersangkutan dan disyahkan oleh KPPN, sehingga KPPN menghentikan pembayaran dengan mengalihkan pembayaran ke tempat sesuai SK. Pengadilan memutuskan bahwa KPPN bersalah karena telah menerbitkan SKPP, sehingga yang bersangkutan tidak lagi menerima gaji di tempat yang lama. Keputusan Majelis Hakim tentunya mendengarkan berbagai ahli sebelum memutuskan perkara.

Seandainya Kementerian Keuangan patuh terhadap keputusan tersebut, maka semua hakim maupun jaksa yang dipindahkan keluar Papua, mengacu keputusan pengadilan tersebut yang diberlakukan sebagai jurisprudensi, tidak akan menerima SKPP. Dan akibatnya mereka tidak akan pernah menerima gaji di tempat yang baru.

Untung saja, dengan susah payah, para Pejabat di Ditjen Perbendaharaan mengajukan banding dan berusaha meyakinkan majelis hakim banding. Dan Alhamdulillah dikabulkan. Bila tidak, apa yang akan terjadi ? Inilah contoh nyata bila masalah keuangan Negara diputuskan berdasarkan tafsiran pihak-pihak yang tidak berkompeten.

Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis Hakim,

Dari pendapat Ahli yang dihadirkan oleh pihak kami, yaitu Prof. DR. Muhsan, SH, dan Drs. Siswo Sujanto, DEA yang keduanya merupakan figure yang menyusun Undang Undang Bidang Keuangan Negara yang hingga kini digunakan di Indonesia, bahkan Drs. Siswo Sujanto, DEA sejak tahun 2006 hingga saat ini selalu membantu penyelesaian berbagai kasus korupsi baik yang ditangani oleh KPK, Kejaksaan Agung, maupun Polda sebagai Ahli Hukum Keuangan Negara, dapat disimpulkan bahwa tanggungjawab pengeluaran Negara melalui penerbitan SPM adalah di tangan Kementerian/ lembaga/ satker penerbit SPM, lebih khusus lagi tanggungjawab tersebut melekat secara ex-officio pada Pejabat Penandatangan SPM.

Yang mengherankan saya adalah, mengapa justru pihak Kementerian/ lembaga/ satker penerbit SPM, lebih khusus lagi Pejabat Penandatangan SPM yang menurut ketentuan perundang-undangan merupakan pihak yang paling bertanggungjawab dan tentunya bersalah, tidak dituntut untuk dijatuhi hukuman.

Kesalahan tersebut terakumulasi dengan perbuatan Sdr. Supriyanto, S.Sos, Pejabat Penandatangan SPM SNVT Pengadaan Bahan/Peralatan Jalan dan Jembatan Kementerian Pekerjaan Umum, yang menandatangani kertas kosong menjelang cuti naik haji dengan harapan sewaktu-waktu diperlukan dapat diisi dan diterbitkan sebagai SPM resmi agar tidak menghambat pembiayaan kegiatan SNVT yang bersangkutan. Perbuatan ini merupakan perbuatan yang tidak layak dilakukan oleh seorang pengelola keuangan Negara, sehingga pejabat yang bersangkutan harus mendapatkan hukuman karena melakukan pelanggaran norma/ kaidah yang berlaku dalam pengelolaan keuangan negara sebagaimana dikemukakan di atas yaitu,. bahwa barangsiapa yang menandatangani SPM harus yakin terhadap adanya tagihan kepada Negara; yaitu, harus yakin kepada siapa uang tersebut harus dibayarkan; harus yakin, berapa besarnya; dan harus yakin terkait dengan tahun anggaran saat dilaksanakan pembayaran. Padahal, sebagaimana disampaikan dalam persidangan yang bersangkutan telah menandatangani kertas kosong untuk dijadikan SPM sebanyak 60 lembar dan meletakkannya di dalam map di bawah keyboard computer operator SPM yang berisi program Aplikasi SPM. Perbuatan ini justru memfasilitasi pihak-pihak tertentu untuk merampok uang Negara dengan sekedar mengisi kertas tersebut dengan angka-angka dan mencetaknya menjadi SPM.

SPM, pada hakikatnya, tidak berbeda dengan cek dalam system perbankan. Namun demikian, tidak pernah terjadi bila terdapat penyalahgunaan cek tersebut oleh pemilik cek (penandatangan cek), bank ataupun pejabat/staf di bank tersebut dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang sangat aneh bila SPM yang diterbitkan dan ditandatangani oleh pejabat di satuan kerja, dalam hal ini SNVT Pengadaan Bahan/Peralatan Jalan dan Jembatan Kementerian Pekerjaan Umum, yang mungkin saja disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu, kesalahannya ditimpakan kepada KPPN ataupun pejabat/pegawai KPPN.

Tambahan lagi, dari sudut organisasi pengelolaan Keuangan Negara, menurut Drs. Siswo Sujanto, DEA, yang dihadirkan sebagai Ahli Hukum Keuangan Negara, praktek pembayaran/ penerbitan SPM yang dilaksanakan di SNVT tersebut adalah salah. Menurut Ahli, dengan organisasi semacam SNVT, SPM tersebut seharusnya ditandatangani oleh Kepala SNVT. Artinya kepala SNVT harus merangkap sebagai Pejabat Penandatangan SPM. Hal ini untuk menjamin terjadinya mekanisme saling uji (check and balance) dalam pelaksanaan pengeluaran Negara sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang No. 1 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Menurut Ahli, kesalahan tersebut merupakan kesalahan yang fatal, karena secara substantive penerbitan SPM tersebut tidak pernah dilakukan pengujian dalam arti sebenarnya.

Keheranan saya bertambah-tambah, karena ternyata penyidik dari Ditreskrimsus Polda Metro Jaya yang melakukan penyidikan kasus ini, dalam persidangan ternyata sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang Undang-undang Perbendaharaan maupun Undang Undang Keuangan Negara.

Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis Hakim,

Jaksa Penuntut Umum tidak mampu membuktikan dakwaan primernya, yang berarti tidak mampu membuktikan adanya perbuatan melawan hukum dalam kasus ini, karena saya memang tidak pernah melakukan perbuatan yang melawan hukum. Semua tindakan saya, saya lakukan atas dasar SOP yang ditetapkan oleh instansi saya (Direktorat Jenderal Perbendaharaan). Dan instansi saya, Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan tidak pernah menyatakan bahwa saya telah melanggar SOP. Artinya, apa yang telah saya lakukan telah sesuai dengan yang seharusnya saya lakukan sebagai pejabat pelaksana perbendaharaan di KPPN. Oleh karena itu, hingga saat ini saya tidak pernah dihukum. Bahkan saya telah dipromosikan dalam jabatan eselon III sebagai Kepala Kantor KPPN di Tahuna. Ini adalah suatu bentuk apresiasi/ pengakuan dari instansi tempat saya bekerja. Dan promosi ini tidak mungkin terjadi di Kementerian Keuangan, khususnya, yang pada saat ini sedang gencar-gencarnya melakukan reformasi birokrasi dan pencegahan korupsi. KPPN sendiri akhir-akhir ini diakui oleh KPK sebagai instansi penyedia layanan terbaik di Indonesia.

Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis Hakim,

Ketika saya mendengarkan dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut saya hukuman 2 tahun dengan denda Rp. 500.000.000,- subsidaire 4 bulan saya terheran-heran. Instansi saya (KPPN) tidak memiliki kewenangan sebagaimana dituduhkan. Dengan demikian, saya tentunya juga tidak memiliki kewenangan seperti itu pula, yaitu mencairkan dana dengan cara menerbitkan SP2D untuk SPM yang tidak layak bayar. Saya merasakan tuduhan tersebut sangat aneh dan salah arah (error in persona).

Sehubungan dengan itu, saya mohon agar Yang Mulia dapat mempertimbangkan dengan arief dan bijaksana terhadap apa yang telah saya sampaikan di atas, dan mohon dapat memberikan keputusan yang seadil-adilnya atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.

Demikian saya sampaikan pembelaan ini. Semoga kiranya Allah SWT melindungi kita semua. Amin Ya Rabbal alamin.

Wassalammualaikum wr wb.

Agus Imam Subegjo.

Jumat, 25 November 2011

siswa stres, prestasi meningkat

pada dasarnya pemberian stres memang dapat meningkatkan pencapaian kinerja seseorang.
contohnya dengan adanya deadline tugas, batas tuntas nilai ujian, dsb
membuat kita terdorong untuk melakukan pekerjaan lebih baik dan lebih cepat.

hal ini yang mungkin menjadi dasar sistem pendidikan kita
untuk menerapkan berbagai standar guna meningkatkan prestasi siswa.

yang menjadi pertanyaan sekarang adalah,
apakah stres yang diberikan kepada siswa tepat guna dan tepat sasaran?
atau hanya sebatas solusi instan untuk meningkatkan angka prestasi akademik?


ketika tujuan pendidikan adalah meningkatkan angka-angka prestasi akademik,
maka cara-cara yang ditempuh sekarang sudah benar.
semakin stres semakin baik nilainya.

tapi ketika tujuan pendidikan,
seperti yang tercantum dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, disebutkan
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
dengan visi terwujudnya system pendidikan sebagai pranata social yang kuat dan berwibawa
untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas
sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

maka bisa dikatakan ada yang kurang dalam sistem pendidikan kita.

pencapaian akademis hanya sebagian kecil dari tujuan dan visi pendidikan nasional kita.
tapi hal itu yang selama ini digembar-gemborkan dan diupayakan peningkatannya.
hasilnya?
akademis memang meningkat. tapi lihat sisi watak dan kepribadiannya.
stres yang berlebihan untuk menggenjot kemampuan akademis
menyebabkan siswa tak lagi punya kesempatan untuk mengembangkan
kemampuan non-akademisnya seperti soft skill dan kepribadian.
akibatnya,
kejujuran jadi barang haram dalam pendidikan, yang jujur malah ancur.
perilaku menyimpang para pelajar tidak jarang kita temui sehari-hari.


LALU APA YANG HARUS KITA LAKUKAN?

langkah diknas untuk menyerahkan 40% nilai siswa kepada sekolah cukup menjanjikan.
hal ini mengisyaratkan diknas ada iktikad baik untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita.

saya yakin, ketika diknas berani menyerahkan 100% nilai siswa kepada sekolah,
akan terjadi sebuah revolusi pendidikan yang sangat membangun.
ketika 100% nilai ada di tangan guru, maka guru akan lebih leluasa menunaikan cita-citanya
saat dahulu menentukan untuk berkarir menjadi guru.
saya yakin tidak ada guru yang bercita-cita menjadi guru dengan tujuan agar semua siswa lulus ujian nasional.
biasanya cita-cita menjadi guru karena ingin:
menjadikan siswanya pandai dan berguna bagi bangsa,
berkepribadian baik dan sopan,
cerdas dan bertakwa,
dan sebagainya yang biasanya jauh dari kata nilai akademis.

ketika 100% nilai ada di tangan guru,
siswa menjadi tidak khawatir lagi dengan pencapaian nilai tes.
Tes yang akan diberikan pasti sudah pernah dipelajari
karena pembuat tes adalah gurunya sendiri.
hal ini dapat memberikan ruang dan waktu bagi siswa
untuk mengembangkan kemampuan dirinya selain kemampuan akademis.

prestasi akademis yang selalu dilihat dari perbandingan antar individu
seringkali menyebabkan penilaian yang tidak objektif.
setiap siswa memiliki kemampuan dan keunikan tersendiri dengan standar yang berbeda-beda
sehingga sebenarnya mereka tidak bisa diujikan dengan tes yang sama.

maka, sepertinya perlu kita rancang ulang pengertian kita terhadap kata prestasi.


menurut anda apakah ketika kita dahulu sebelum bisa jalan,
kemudian kita mampu berjalan bukanlah sebuah prestasi?
dulu ketika belum bisa mengucapkan kata dengan baik,
kemudian berhasil mengucapkan "mama" dengan baik, bukankah itu prestasi?

jika iya, lalu mengapa semakin tua semakin sulit untuk melihat bahwa
pencapaian kita secara pribadi juga merupakan sebuah prestasi?

padahal jika kita bisa selalu menyadari pencapaian prestasi pribadi,
maka kita akan semakin menghormati kemampuan diri sendiri.
semakin memahami kemampuan diri sendiri,
senang belajar setiap hari untuk menambah wawasan dan kualitas diri.
semua itu menjadi berharga karena kita menyadari bahwa
diri kita juga mampu berprestasi bahkan setiap hari.
setiap peningkatan kualitas diri adalah sebuah prestasi.

jika semua siswa dapat memahami itu,
saya yakin tidak akan ada siswa yang depresi karena nilainya selalu menjadi yang terbawah di kelas.
bunuh diri karena tidak lulus ujian.
atau menjadi penjahat karena hanya di sanalah dia bisa merasa menjadi yang paling ber"prestasi".


peran orang tua, guru, dan teman-teman menjadi sangat penting
karena dengan penghargaan dari mereka,
setiap siswa mampu lebih menghargai setiap usaha yang dia lakukan untuk pencapaian pribadinya sendiri.

beri pujian kepada siswa ketika dia berhasil menyelesaikan ujian dengan nilai lebih baik dari sebelumnya,
meski pada saat yang sama teman-temannya mendapat nilai lebih baik dari dirinya.

bukankah sebetulnya itu fungsi nilai?
yaitu sebagai alat monitoring perkembangan prestasi masing-masing pribadi siswa secara periodik.
bukan sebagai alat perbandingan kemampuan antar siswa?

semakin menghargai upaya diri untuk meningkatkan kualitas diri,
semakin menyadari prestasi pribadi yang diraihnya tiap hari
akan menjadikan dirinya kecanduan untuk terus belajar
untuk meraih prestasi-prestasi berikutnya di setiap hari.

jika setiap hari semua siswa sibuk belajar meningkatkan kualitas diri,
untuk sesering mungkin mencapai prestasi pribadinya masing-masing,
saya yakin tujuan dan visi pendidikan nasional akan tercapai.
yaitu meningkatkan kemampuan dan watak bangsa, serta memberdayakan seluruh warga demi kemajuan bangsa.

bangsa Indonesia terdiri dari pribadi-pribadi Indonesia.
jika tiap pribadi Indonesia sibuk belajar dan mengejar prestasi pribadi masing-masing,
artinya bangsa juga sibuk belajar dan mengejar prestasinya sebagai bangsa Indonesia.

mari raih terus prestasi diri setiap hari.
_semoga bermanfaat.

Kamis, 10 November 2011

Pahlawan Pembangunan Yang Baru Sadar


wahai negeriku,
masihkah kau ingat masa-masa ketika kau baru akan lahir?

kau dikelilingi oleh berjuta orang telanjang kaki, berbalut kain seadanya,
berdiri tegak menjagamu tak bergeming hingga kau benar-benar lahir.

kau dilayani oleh jutaan orang yang tak tahu apa itu uang.
yang mereka tahu, hanya satu.

KEMERDEKAAN

kini kau telah merdeka.
kau juga telah ditinggal ribuan pasukan loyalis masa lalu.
hanya tinggal segelintir veteran yang menemanimu kini
sambil tersenyum getir melihat nasibmu ini.

kau tak punya lagi mereka yang mau berjalan jauh telanjang kaki,
siang malam bahkan sambil menandu sang jendral.

kini kau hanya punya pasukan bayaran yang hanya mau berjalan
jika dipinjami kendaraan dinas yang bebas dipakai untuk keperluan pribadi.

kau tak punya lagi mereka yang mau berdiri tegak dengan pakaian seadanya menjaga setiap sisimu,
tanpa dibayar dengan uang.
kini kau hanya punya pasukan bayaran yang mau menjaga setiap sisimu,
jika dengannya dia bisa hidup kenyang dan tidur nyenyak.

kau tak punya lagi mereka yang mau berkorban jiwa raga harta benda,
tanpa harus diumumkan namanya, tanpa tujuan lain selain merdeka.
kini kau hanya punya pasukan bayaran yang mau menyumbang ke dompetmu,
jika namanya jadi tenar, jika dengannya dia berhak ikut campur mengatur kebijikan negara.

tak ada lagi pahlawan tanpa tanda jasa,
yang ada pahlawan dengan tanda jasa yang diperhalus namanya
jadi remunerasi, sertifikasi, atau apapun namanya.

kini kau sudah tak punya mereka.
mereka pahlawan kemerdekaan.

kini kau hanya punya pahlawan pembangunan.
pahlawan yang matanya bukan berbinar jika melihat bendera berkibar,
tapi berbinar jika melihat uang berkibar.

wajarlah,
karena perjuangan kemerdekaan tujuannya adalah merdeka.
sedangkan pembangunan tujuannya adalah makmur.

tujuan yang berbeda dari generasi yang berbeda.



sebetulnya kau punya banyak pahlawan pembangunan.
termasuk kami.
namun sayang, kebanyakan dari kami masih keliru dalam mengambil langkah menuju kemakmuran.

jika dahulu pahlawan kemerdekaan menginginkan merdeka,
mereka berjuang meraih kemerdekaan dengan cara
melepaskan egoisme ingin merdeka secara pribadi,

bergabung jadi satu kekuatan untuk memerdekakan bangsa.

jika bangsa mereka merdeka, artinya semua akan merasakan kemerdekaan.

seandainya kami hidup di jaman penjajahan,
dengan pemahaman kami sebagai pahlawan pembangunan jaman sekarang,
langkah yang kami ambil adalah
kami akan memerdekakan diri sendiri daripada memerdekakan bangsa.

terlalu idealis untuk berjuang memerdekakan bangsa.

bangsa indonesia terlalu besar, terlalu banyak suku.
sulit untuk dipersatukan.

yang realistis saja,
lebih baik kami pergi ke luar negeri atau menjadi kroni bangsa penjajah,
lalu pindah ke negara lain untuk bisa hidup merdeka.


se-realistis-nya kami di jaman pembangunan,
memilih hidup makmur di negeri orang
daripada kami hidup sengsara di negeri sendiri.


terlalu idealis untuk mengorbankan jiwa raga harta benda
untuk meraih kemerdekaan yang belum pasti akan terwujud.
realistis saja,
lebih baik kami menjadi cukong bangsa penjajah,
jadi mandor yang mengkerjapaksakan warga pribumi
yang sudah pasti makmurnya, kenyangnya, kayanya.


se-realistis-nya kami mengimpor dan mengonsumsi
barang-barang jadi dan bahan makanan dari luar negeri
yang lebih nyata murahnya, lebih nyata untungnya.
se-relistis-nya kami menggunakan subsidi bbm yang lebih nyata murahnya.


kami lebih pintar dari mereka pahlawan kemerdekaan.
kami sudah sekolah yang lebih tinggi dari mereka.
jadi kami lebih mampu berpikir realistis daripada berpikir idealis yang tak masuk akal itu.

kami lebih tahu mana saja hak kami,
tidak seperti mereka pahlawan kemerdekaan yang hanya tahu satu hak. hak merdeka.


hai negeriku,
kau sudah tak punya pahlawan kemerdekaan.
kau kini hanya punya kami, pahlawan pembangunan.

pahlawan serba realistis yang menilai segalanya dari yang real.
pahlawan pintar yang pendidikannya tinggi, omongannya tinggi, tarifnya tinggi, gaya hidupnya tinggi.

mungkin kau tak suka memiliki kami,
tapi inilah kami,
pahlawan pembangunan yang baru sadar.

bahwa
realistis dan kepintaran kami
tak sehebat dan senyata
hasil dari idealisme dan "kebodohan" kalian
wahai para pahlawan kemerdekaan.

Minggu, 18 September 2011

tanah air hanya menjadi tempat lahir dan mati



pada dasarnya semua orang berhak menentukan pilihan hidup masing-masing.
mau berpendidikan tinggi atau rendah, itu terserah.
mau menjadi kaya atau miskin juga silahkan.
apalagi negara kita negara demokrasi, negara bebas.
beda dengan negara komunis yang segala macam hak rakyat
diatur sama rata oleh negara.

bagi mereka yang berpendidikan tinggi,
yang sudah susah payah menghabiskan waktu dan biaya lainnya
untuk mendapatkan ilmu yang begitu tinggi,
tentu menginginkan kehidupan yang setidaknya,
ilmu yg telah ia miliki dapat mendatangkan kemakmuran dalam hidupnya.

kalau saya menjadi seorang ilmuwan seperti bapak Habibie,
tentu saya tidak ingin tinggal di Indonesia.
karena saya sudah menghabiskan banyak waktu dan biaya
untuk mendapatkan ilmu yang begitu tinggi,
namun ternyata di Indonesia, ilmu saya ini tidak dapat diaplikasikan.
saya menjadi orang pintar yang bodoh, karena tak mampu berbuat apa-apa dengan ilmu saya.
dengan ilmu yang begitu tinggi, saya juga tidak mampu meningkatkan taraf hidup saya,
apa kata orang jika saya sudah menjadi profesor tapi hidup saya tidak mapan?

saya lebih memilih untuk pergi ke negara lain,
dimana negara tersebut dapat mendatangkan kemakmuran bagi saya
dengan ilmu yang saya miliki.
tentu, bukan berarti saya ini tidak cinta Indonesia,
justru karena saya di luar negeri,
saya semakin cinta dengan Indonesia.
suatu saat nanti, jika saya tidak lupa dan malas,
insyaallah saya akan kembali ke Indonesia
untuk berbuat sesuatu di Indonesia.

tapi alhamdulillah,

saya tidak diberkahi otak yang begitu cemerlang seperti bapak Habibie dan teman-teman ilmuwan lainnya.
otak saya hanya sebatas otak orang "aneh".
ilmu saya tidak begitu tinggi,
jadi peluang saya untuk memanfaatkan ilmu di Indonesia masih terbuka lebar.
masih banyak yang bisa menggaji saya dengan ilmu yang sedikit ini.

kalau nanti saya semakin gila,

karena ilmu saya semakin rendah dan begitu rendahnya,
hingga pada akhirnya keadaan saya
menjadi sama seperti mereka yang memiliki ilmu yg terlalu tinggi.
otak kami tidak terpakai di Indonesia.

mereka yang ilmunya terlalu tinggi memilih pergi ke luar negeri agar ilmunya terpakai.
lalu bagaimana dengan saya?
siapa yang mau memanfaatkan ilmu yang begitu rendah ini?

ya sudah lah, karena tak ada yang mau memanfaatkan,
biar saya sendiri saja yang memanfaatkannya.

saya pakai sendiri ilmu ini untuk memakmurkan diri saya sendiri.
jika saya makmur, saya akan gunakan ilmu saya untuk memakmurkan lingkungan saya,
jika lingkungan saya bisa makmur, saya akan gunakan untuk kemakmuran negara saya.

biarlah saya yang memakai otak saya sendiri,
karena tak ada orang yang mau membayar otak aneh seperti milik saya ini.
otak yg pantasnya dibagi gratisan.

otak aneh saya ini punya prinsip,
kalau memang ilmu itu ga bisa dimanfaatkan, y ga usah dipelajari.
so, saya hanya mempelajari apa yang kira2 bisa saya terapkan
terutama di lingkungan sekitar saya.
yang ga perlu pergi jauh ke luar negeri,
karena saya ga punya ongkos buat pergi jauh-jauh ke luar negeri.

yang saya pahami,
pada hari akhir setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban
atas penggunaan ilmunya, bukan banyak sedikitnya ilmu yg dia miliki.

jadi bagi saya ga pinter-pinter amat ga papa lah,
yg penting kepinteran yang sedikit itu bisa bermanfaat.

tapi bukan berarti saya mengajak bermalas-malasan mencari ilmu lho,
karena kita juga akan dimintai pertangungjawaban
atas penggunaan umur kita. (sekali lagi, bukan banyak sedikitnya umur kita)

saya hanya berpikir,
jika orang-orang pintar hanya mau menjual otaknya ke negara lain,
lalu siapa yang mau menjual otaknya untuk negeri sendiri?
orang-orang bodoh dan aneh seperti saya?


bisakah kita berhenti berharap kepada luar negeri
agar berkenan menyejahterakan negeri kita?
tidak ada negara yg mau membantu negara lain,
sampai negara yg dibantu itu melebihi dirinya.
kecuali semua penduduk negara itu berprofesi guru.
karena hanya guru yg senang jika anak didiknya dapat melampaui dirinya.

bukankah yang membedakan orang biasa, nabi dan rasul,
adalah pemanfaatan ilmunya?
ilmunya orang biasa, dimanfaatkan orang lain.
ilmunya nabi bermanfaat untuk dirinya.
ilmunya rasul, bermanfaat untuk dirinya dan orang lain.

bukankah nabi dan rasul adalah contoh nyata yang baik untuk kita?
semoga kita lebih ikhlas mencontoh mereka.

supaya kita tidak hanya numpang lahir dan mati
tapi kita juga menjadikan Indonesia sebagai tempat untuk berjuang.

perjuangan kita berhasil atau tidak, bukan masalah.
karena mereka yang dikenang dan diteladani sebagai pejuang
bukan karena keberhasilannya, tapi karena upaya dan kesabarannya.

pejuang kemerdekaan, banyak yang mati dan gagal melawan penjajah.
tapi mereka tetap pejuang di mata rakyat Indonesia karena upaya dan kesabarannya.
nabi dan rasul, banyak yang gagal mengajak kaumnya mengimani Tuhan yang Esa, Allah SWT,
tapi kesabaran dan upaya yang mereka lakukan,
diabadikan Allah sebagai contoh yang baik dalam kitab yang kekal. Al-Qur'an.

negeri ini menanti perjuangan orang-orang yang berilmu.

bagaimana caranya?
saya yakin orang pintar lebih tahu tentang hal ini
daripada saya, orang aneh. :)

Minggu, 11 September 2011

yang penting bagiku adalah

beberapa waktu lalu,
saya pernah mendengar AA Gym berkata di salah satu acara televisi,
kurang lebihnya seperti ini,
"banyak orang memikirkan apa yang seharusnya tidak dipikirkan.
banyak orang melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan.
banyak orang merisaukan apa yang seharusnya tidak dirisaukan."

saya langsung berpikir,
hmm...
lalu apa yang seharusnya aku pikirkan, aku lakukan dan aku risaukan?

mungkin,
sesuatu yang seharusnya aku pikirkan adalah yang menguntungkan bagiku.

jika tidak ada untungnya bagiku,
untuk apa aku pikirkan,
untuk apa aku lakukan,
dan untuk apa aku risaukan.

kucoba itu,
ternyata eh ternyata,
aku menjadi manusia kalkulator.

apapun yang saya lakukan aku hitung dengan cara matematika manusia.
aku hanya memikirkan apa yang bisa menghasilkan keuntungan bagiku.
nyatanya, memikirkan keuntungan hanya membuatku selalu merasa sedang merugi.

aku hanya melakukan apa yang menguntungkan bagiku.
nyatanya, hanya melakukan yang menguntungkan bagiku justru membuatku sering merugi.

aku hanya merisaukan apa yang bisa menguntungkanku.
nyatanya, merisaukan yang bisa menguntungkan justru membuatku merugi karena risaunya itu.

okey,
ternyata yang seharusnya aku pikirkan, aku lakukan dan aku risaukan
bukanlah yang menguntungkan bagiku.

kenyataannya,
"untung" hanyalah pengertian paling sempit untuk makna "kebahagiaan hidup."
dan hidupku ini terlalu luas jika hanya untuk mencari untung.


sekarang kucoba untuk memikirkan, melakukan dan merisaukan
apa yang bermanfaat untuk diriku.

ternyata eh ternyata,
saya semakin bingung.

apa itu manfaat?
bukankah manfaat itu sama saja dengan untung?

ternyata tidak,
manfaat itu lebih luas dari untung.

manfaat kadang kala tidak dapat diuangkan seperti nilai keuntungan.
misalnya ketenangan batin, kepuasan batin, aktualisasi potensi diri.

saya mencoba memikirkan apa yang bermanfaat untuk diriku,
hasilnya pikiranku lebih jernih dan tenang.
saya mencoba melakukan apa yang bermanfaat untuk diriku,
hasilnya aku lebih efesien dalam melakukan sesuatu.
saya mencoba merisaukan apa yang dapat memberi manfaat untuku,
hasilnya aku semakin termotivasi untuk kembali berpikir dan melakukan
apa yang bermanfaat untuk diriku.

tapi,
apakah dunia ini diciptakan untuk dimanfaatkan oleh diriku saja?
dimana porsi orang lain? porsi tetangga kita? porsi teman-teman kita?

okey,
ternyata hidup untuk bermanfaat bagi diri sendiri memang baik,
tapi masih ada yang lebih baik.
yaitu yang emberi porsi untuk orang lain
dalam kebahagiaan hidupnya.


sekarang, saya mencoba-coba untuk
memikirkan, melakukan dan merisaukan apa yang penting bagi diriku.
penting bagi diriku,
bukan berarti hanya menguntungkan dan bermanfaat untuk diriku.

ya, mungkin ini terlalu gila bagi orang waras.
saya punya visi dan misi hidup.
visi hidup saya adalah ingin menjadi orang kaya yang mati dalam keadaan khusnul khotimah dan masuk syurga.
misi hidup saya adalah ingin menjadi manusia yang paling bermanfaat bagi alam semesta.

ah lebay, hidup pake visi misi.
ya memang saya ga waras kok, tenang saja. ga usah dicontoh. hahaha

jadi, yang penting bagiku adalah
yang sesuai dengan visi misiku.
yang ga sesuai, minggir.


jika dengan sesuatu itu,
aku bisa menjadi yang paling bermanfaat bagi semesta alam, tentu termasuk bermanfaat untuk diriku,
kenapa tidak?
jika dengan bermanfaat itu,
bisa mengantarku menjadi orang kaya yang mati dengan baik dan masuk syurga,
kenapa tidak?

sebaliknya,
jika sesuatu itu hanya membuang-buang energiku untuk
memikirkan, melakukan dan merisaukan hal yang tidak penting bagiku,
seperti mengeluh tentang negeri tapi tak mau berpikir memperbaiki diri sendiri,
mengeluh tentang polusi tapi tak mau berhenti melakukan polusinya sendiri,
mengeluh tentang pendidikan tapi tak mau merisaukan perilakunya yang tak terdidik.
kenapa tidak berani mengatakan tidak untuk semua itu?

penting bagiku,
adalah yang sesuai bagi visi misiku.

bagaimana denganmu?
apa yang penting bagimu?

apakah aku penting bagi hatimu? eaaa... #justkid

Kamis, 25 Agustus 2011

Merokok lebih bodoh dari Col*

saya yakin sebetulnya ini hal yg penting,
tapi mungkin belum ada yg berani mengungkapkannya.
biarlah orang gila ini saja yg mengangkatnya ke permukaan.
hahaha...

maaf kalau nanti (dan mungkin judulnya juga) bahasanya kasar,
karena sejujurnya saya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menggunakan bahasa yg sopan.
tapi apa daya,
ketika saya gunakan bahasa yg sopan,
maknanya jadi berubah dan ga matching dengan konteksnya.

ibarat melarang cewe jadi pelacur.
bagusnya pake bahasa, "jangan jadi pelacur!" kesannya mantap dan jelas.
coba pake bahasa, "jangan jadi pekerja seks komersial! atau, Jangan jadi pramunikmat!"
bahasanya terlalu halus dan keren, larangannya kalah dengan kesan kerennya nama lain dari pelacur.

okey, saya berniat menulis ini berawal dari perjalanan mudik saya kemarin.
ketika sedanng menunggu di depan stasiun, dalam keadaan capek lagi puasa,
rame banget, sumuk,
eh ....
kanan kiri depan belakang,
brang breng... pada nyepur alias merokok seenak bokong.

(saya peringatkan, tulisan ini akan banyak menghina para perokok,
jadi kalau tidak kuat mental, silakan lambaikan tangan,
dan klik tombol X warna merah di pojok kanan atas layar anda)

sebetulnya apa c keuntungannya merokok?

biar keren?

oke lah, saya akui memang cowo2 yg merokok itu terkesan keren.
banyak cowo juga bilang kalau cowo yg merokok itu kesannya keren.
sekali lagi, itu kata para cowo ya, termasuk saya.

tapi lain halnya di mata para wanita dan anak-anak.
lebih banyak wanita yg tidak suka prianya merokok.
coba deh bagi anda yg sudah punya istri,
biarkan mertua anda bertanya kepada istri anda.
apakah dia senang menikah dengan perilaku merokok anda?

anda yg sudah punya pacar,
biarkan teman dekatnya bertanya kepada pacar anda,
apakah dia senang berpacaran dengan perilaku merokok anda?

anda yg sedang punya bayi,
lihatlah ketika dia sedang menyusu kepada ibunya,
lihat wajahnya,
perhatikan dan coba tebak apa yg ada di benak bayi anda,
sadarkah jika dia sebetulnya ingin berteriak
"mah! kok susunya bau rokok!!!"
sayang mereka belum bisa bicara, hanya bisa menangis saja.

mereka yg menyayangi Anda,
sebetulnya sayang kepada Anda,
tapi tidak kepada perilaku merokok anda.

sebab, tak ada keuntungannya sama sekali bagi mereka
dengan Anda merokok.

mereka tak bisa melihat anda menjadi lebih keren dengan merokok.
yg bisa melihat hanya para pria dan anda sendiri.
artinya,
ketika anda merokok, sebetulnya anda sedang mencari perhatian kepada para lelaki.
lelaki mana yg suka mencari perhatian kepada lelaki,
kecuali lelaki maho?

biar tenang?

nikotin dapat menghambat informasi rangsang syaraf
sehingga menurunkan aktivitas refleks tubuh
jadi, sebetulnya mereka menjadi tenang
bukan karena masalah terselesaikan,
tapi karena otak mereka menjadi lemot.

kalau mau tenang,
kata pak ustadz lebih baik solat. solat itu penyembuh bagi hati yg gundah.
kata mario teguh, kembalilah kepada keluarga. keluarga itu taman surga di dunia.

kalau mau yg lebih bejad,
seperti saya,
mendingan col* (disingkat col)

secara efek,
merokok dan col sama-sama menimbulkan efek tenang.
bedanya,
tenangnya merokok disebabkan otak kita jadi lemot.
tapi tenangnya col disebabkan adanya hormon serotonin.
artinya, tenang yg dihasilkan dari col lebih sehat daripada merokok.

gratis lagi! tinggal modal gambar saru, bisa pinjem hp temen, hajat selesai.
bandingin dengan rokok, udah lebih mahal, ga ramah lingkungan, bikin lemot lagi.

efek samping
secara efek samping,
jelas merokok lebih berbahaya daripada col.

merokok dapat menyebabkan KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN.
sedangkan col hanya dapat menyebabkan IMPOTENSI.

lihat bedanya?

ya bisa aja col menyebabkan kanker, kalo col nya sama pelacur.
saya ga menyarankan itu. swalayan saja lah, yg di internet jauh lebih cantik kok.

bisa juga menyebabkan serangan jantung, kalo lagi col tiba2 gambarnya jadi hidup beneran.

bisa juga menyebabkan gangguan kehamilan dan janin, kalo lagi lagi hamil tua masih mainan timun.

dosa
secara dosa,
merokok itu merugikan diri sendiri dan orang lain.
bandingkan dengan col, merugikan siapa selain diri sendiri?

daya rusaknya juga lebih hebat merokok daripada col.

manusia memang tempatnya salah dan dosa,
tapi manusia juga punya akal,
mau berdosa pake otak juga kali.

ayo, kenapa harus merokok?
mau cari apanya?
efeknya col juga sama.

bikin tenang, merusak tubuh, dan berdosa.

bahkan col lebih ramah lingkungan dan ga mengesankan maho.

hayo?

merokok itu haram bagi 17 th ke bawah.
kenapa?
karena ulamanya juga pada ngerokok.

ulamanya takut kalau perusahaan rokok gulung tikar.
padahal ga mungkin gulung tikar,
karena yg namanya perokok ga akan dengan mudah meninggalkan rokok
meski harganya menjadi jauh lebih tinggi.

kalaupun gulung tikar,
ga mungkin para pekerja mati tiba2.
orang gila saja yg ga bekerja masih pada bisa hidup di pinggir jalan,
masa mereka yg punya akal ga bisa hidup?
payah, kalah kok sama orang gila.


mau nyumbang pajak ke negara lewat rokok?
halah ga usah nggaya,
bayar saja PBB, pph, ppn, itu dah cukup.
kalau mau melakukan lebih,
angkat anak jalanan satu aja cukup.
pajak yg di dapat dari rokok ga seberapa dibanding biaya untuk mengobati penyakit dari rokok.

menyejarterakan petani tembakau?
petani yang mana yg sejahtera karena industri rokok maju?

sudah lah,
kalau mau merokok, cobalah ganti dengan col.
habis makan, col.
lagi nunggu bis, col.
efeknya sama saja.

kalo susah ya sudah,
kata pak ustad, zikir itu lebih baik.
kalo kata orang pinter, baca buku saja.

ga usah melanjutkan perilaku
yg menegaskan Anda itu maho dan bodoh.

ga usah ikut2an pemerintah,
udah tau mana yg bener, mana yg salah.
tapi ya hanya tahu aja.
ga ada iktikad dan upaya untuk melakukan perbaikan.

kalo masih mau ikut2an pemerintah,
ga usah menghina2 pemerintah.
karena sama saja dengan meludahi muka sendiri.

(buat para perokok yg kuat membaca tulisan ini sampai akhir,
luar biasa, saya salut.
semoga Anda bisa segera terlepas dari ketergantungan merokok.
dan juga segera lepas dari kebiasaan col sambil merokok.
it's too stupid man.)

semoga Allah memberkahi kita semua.
aamiin

Tulisan dari temen yg gila.. untuk kawan yg aneh..
terima kasih.

==============================================================

makasih dah mau baca tulisan aneh-anehku. dan ini hanya pendapat saja. sutuju atau tidak, itu terserah anda. kalau bermanfaat, silahkan disebarluaskan. jika tidak bermutu, lupakan saja. :)

==============================================================